Rabu, 26 Maret 2008

SIGMUND FREUD DAN AGAMA

AGAMA DAN KEPRIBADIAN
DALAM PANDANGAN SIGMUND FREUD
Oleh: Muh. Wasith Achadi, M.Ag
-------------------------------------------------------------------------

Religion would thus be the universal obsessional neurosis of humanity.
Freud: The Future of an Illusion

Pendahuluan
Agama telah menjadi kajian yang sangat panjang dari para teoritisi dan filsuf dunia. Hal ini terjadi karena telah diakui bahwa agama mempunyai pengaruh sangat besar dalam kehidupan manusia baik itu yang betul-betul menjalankan agama dengan baik maupun yang sama sekali tidak percaya pada agama (atheis). Sigmund Freud, salah seorang teoritisi Barat abad 19/20 yang juga berusaha memahami fenomena agama dengan metode psikoanalisanya dalam upaya mendeskripsikan agama dan kepribadian manusia.
Sigmund Freud (1856-1939) adalah seorang dokter, khususnya dibidang riset tentang otak manusia. Dengan riset-risetnya dia telah menggemparkan dunia kedokteran dan masyarakat umum karena ia mengemukakan teori analisa baru yang kontroversial tentang kepribadian manusia, yaitu ”psikoanalisa”. Ternyata teori psikoanalisa Freud tidak hanya merambah dunia kedokteran saja, namun mampu juga menyingkap dan memberikan perspektif baru dalam persoalan-persoalan sejarah manusia, baik masyarakat, moral filsafat dan tak terkecuali agama.[1]
Dalam kajian psikologi, kepercayaan agama bersumber dari ketidakmampuan manusia melawan kekuatan alam luar dan tekanan instinktif dari dalam diri manusia. Agama muncul lebih dulu pada tingkat perkembangan manusia ketika ia belum dapat memepergunakan pikirannya untuk melawan tekanan-tekanan dari luar dan dalam dirinya. Tetapi bilamana manusia telah mampu mempergunakan rasionality-nya dan telah mencapai kedewasaan psikologis, maka agama sudah tidak dibutuhkan lagi. Oleh karena itu Freud mengatakan bahwa agama hanyalah illusi.
Kepercayaan beragama adalah sekumpulan jawaban yang didasarkan atas ilmu ketuhanan atau penafsiran atas kekuatan-kekuatan batin/ghaib terhadap pertanyaan mendasar yang ditimbulkan oleh akal pikiran manusia, seperti: apa makna dan tujuan hidup?, darimana kita berasal dan kemana kita akan kembali?, mengapa kita harus mati?, kepada siapa kita harus bergantung dikala memperoleh kemalangan dan kemujuran? Atau ketika nasib kita kurang beruntung dan sebagainya.
Fransisco Jose Moreno dalam buku Between Religion and Faith[2] menyebutkan bahwa kepercayaan atau keimanan merupakan proses kejiwaan (naluri rasa takut dan keadaan jiwa manusiawi); dengan kepercayaan itu kita kesampingkan kemampuan otak dengan cara menerima jawaban-jawaban yang bersifat non rasional[3] terhadap pertanyaan mendasar mengenai kehidupan. Manakala kita menggunakan kepercayaan untk menerima jawaban-jawaban yang didasarkan atas teologi atau atas dasar kekuatan ghaib di luar alam semesta, maka kita ada di depan pintu kehadiaran agama.
Jawaban non rasional dibutuhkan dan harus ada untuk menjawab pertanyaan yang bersifat rasional agar kita dapat memuaskan kebutuhan emosional kita, akan rasa tentram misalnya. Jawaban yang bersifat agamis diterima melalui penglihatan intuitif-batiniah, yang kebenarannya tidak tergantung pada proses pemikiran rasional, juga tidak terkurangi kebenarannya karena keharusan pembenaran rasional ini.[4]
Sigmund Freud, seorang pakar psikoanalisa mengkritisi kepercayaan agama ini dari sudut pandang ilmu jiwa. Freud memulai pembahasannya setelah membagi struktur jiwa manusia dan dia berkesimpulan bahwa doktrin keagamaan adalah illusi dan tidak dapat dibuktikan. Dan bagaimana jalan pikiran Freud hingga sampai kepada kesimpulan yang mengejutkan tersebut akan dibahas dalam kajian makalah ini dengan diakhiri catatan kritis penulis.

1. Riwayat Hidupnya
Sigmund Freud adalah seorang pakar dan penemu psikoanalisa. Ia lahir dari keluarga Yahudi di Freiberg, kota kecil di wilayah Moravia, pada tanggal 6 Mei 1856. dari umur 4 hingga 82 tahun ia tinggal di Wina.
Freud bekerja selama beberapa tahun di laboratorium psikologi EW. Von Bruicke, sebuah klinik psikhiatri, selanjutnya ia meneruskan penelitian tentang spesialis anatomi dengan TH. Meynert, tetapi karena keadaan ekonominya tidak mengijinkan untuk melanjutkan penelitian yang menjadi karirnya, ditambah beban lain, maka ia memutuskan untuk menikah. Pada tahun 1886, ia mulai membuka praktik sebagai seorang ahli neurologi. Pada tahun berikutnya, ia menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi perkembangan neurologi yaitu studi tentang aphasia dan cerebral paralysis (kelumpuhan pada radang otak) terhadap anak-anak yang pada waktu itu sangat diperhatikan oleh para neurolog.
Selanjutnya, Freud di Paris bersama ahli neurolog bernama Jean Charcot, mengadakan penyelidikan tentang histeria dari sudut pandang psikologi. Joseph Breuer (pakar psikologi Wina) memberitahukan tentang pengalaman yang luar biasa, dimana ia telah menyembuhkan gejala-gejala histeria dengan melalui pasien untuk mengingat dalam hipnosis dan tingkah laku aslinya yang dikeluarkan dari emosi-emosi yang mengiringinya.
Setelah kembalinya dari Paris, Freud mengajak Breuer membahas kasus tersebut dan mempraktikkan metode yang sama serta menambahnya satu bab tentang konklusi-konklusi teoritik yang diangkat dari observasi-observasinya, kemudian kajian itu menjadi buku berjudul Studies of Hysteria (1895) yang ditulis bersama Breuer. Buku ini sangat penting artinya bagai karya-karya Freud berikutnya.
Di sini digambarkan proses ketertekanan (repression) kondisi seseorang yang kesulitan memaksakan diri melupakan kenangan pahit hidup mereka. Freud juga sukses menangani kasus gangguana syaraf dengan hipnotis. Dia juga telah mengklaim berhasil menyembuhkan pasiennya dengan cara melacak cerita-cerita yang dihubungkan dengan kejadian yang menyebabkan masalahnya. Penggunaan pendekatan “percakapan” ini merupakan langkah kunci bagi Freud. Selain itu, ia juga telah mengembangkan suatu cara “investigasi” dan “perawatan” terhadap pikiran manusia yang ia jadikan inti dari seluruh karyanya. Metode inilah yang dinamakan “psikoanalisa”.[5]

2. Freud dan Agama
Pembahasan Freud tentang agama menyatakan bahwa agama merupakan produk dari keinginan (it too is the product of wish fulfilment). Dalam bentuk monoteistiknya ia menempatkan kembali kemungkinan terjadinya kekeliruan realitas bapak dengan proyeksi di atas langit mengenai suatu yang Maha Kuasa dan tidak dapat salah. Dengan ini dimaksudkan bahwa keadaan anak-anak boleh jadi menerima terus hingga masa remaja. Bahkan ini menunjukkan kepada kita bahwa agama mengabadikan contoh perilaku anak-anak, lebih-lebih dalam hubungannya dengan peribadatan dan dosa. Bahkan dengan teliti ia menganggap agama sebagai suatu bagian asutan secara parsial dari illusi (but the thougth of religion as a particulary demaging species of illusion). Oleh karenanya ia bertempur melawan ilmu pengetahuan untuk membedakan antara yang terjadi dalam fakta dan apa yang kita inginkan untuk terjadi.[6]
Zakiah Darajat menerangkan bahwa upacara-upacara agama yang terlihat sebagai tindakan-tindakan remeh dan tidak berarti itu juga menunaikan fungsinya, yaitu pemikiran terhadap dosa yang disangka dan meringankan kepedihan dalam jiwa yang disebabkan oleh super-ego. Dari itu Freud mengambil kesimpulan (tahun 1907) bahwa compulsion dan obsession adalah agama tertentu yang telah rusak, sedangkan agama adalah gangguan jiwa yang umum.
Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa teori psikoanalisa tentang agama dalam unsur-unsurnya itu adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya kepercayaan agama itu seperti keyakinan tentang agama, keadilan, surga dan neraka, tak lain adalah hasil dari pemikiran kekanak-kanakan yang berdasarkan kelezatan, yang mempercayai adanya kekuatan mutlak bagi pemikiran-pemikiran.
2. Sikap seseorang terhdap Tuhan adalah pengalihan sikapnya terhadap Bapak, yaitu sikap Oedip yang bercampur antara takut dan butuh akan kasih sayang.
3. Doa-doa dan lainnya (dari penenang agama) adalah cara-cara yang tidak disadari (obsession) untuk mengurangi rasa berdosa, yaitu perasaaan yang ditekan akibat pengalaman-pengalaman seksual yang kembali kepada masa pertumbuhannya.[7]
Jadi pada dasarnya melihat unsur-unsur tersebut menyatakan bahwa agama itu adalah gangguan jiwa (neurosis) dan kemudian kembali kepada hidup yang berdasarkan kelezatan semata. Kepercayaan dalam agama senantiasa didasarkan atas keinginan. Freud mengatakan bahwa doktrin keagamaan adalah illusi yang tidak dapat dibuktikan. Oleh sebab itu, Prof. A. Ple, seorang ahli termasyhur penganut faham Freudis kiranya selalu berpendapat bahwa seseorang religius hanya dapat tetap neurosis dan infantil.[8]
Banyak orang yang mengatakan bahwa penyelidikan Freud itu akan melemahkan kepercayaan agama pada masa sekarang, akan tetapi sesungguhnya Freud sendiri tidak pernah menyelidiki agama yang sudah diuraikan oleh ahli-ahli agama pada zaman kemajuan ini, sehingga pendapat Freud tersebut ditanggapi secara kontroversial.

3. Agama Dalam Psikoanalisa Freud
Menurut Freud, agama adalah repetisi (pengulangan) pengalaman masa kanak-kanak. Sebagai kanak-kanak, manusia selalu diselimuti rasa tidak aman dalam mempercayai, mengagumi dan menakuti bapaknya. Freud membandingkan agama dengan obsesional jiwa yang kita dapatkan pada masa kanak-kanak. Menurutnya agama adalah kumpulan neurosis yang disebabkan keadaaan serupa dari produk jiwa kanak-kanak.
Analisisnya mengenai dasar-dasar psikologi agama, berusaha menunjukkan mengapa seseorang memformulasikan ide tentang Tuhan. Bahkan pernyataannya dikerjakan lebih dari sekedar untuk menempatkan dasar-dasar psikologi ini. Pernyataannya bahwa ketidak realitaan konsep teistik ini didemonstrasikan dengan membebaskan dirinya menuju dasar illusi mengenai harapan-harapan manusia. Disamping itu Freud berusaha untuk membuktikan bahwa agama itu adalah suatu illusi.[9]
Dalam buku The Future of an Illusion, Freud menekankan dan menggeneralisasikan teori ini. Sang anak mencari perlindungan pada bapaknya, orang dewasa karena perpanjangan masa infantile menciptakan seorang bapak yang lebih kuat dari manusia dan untuk mengisi kekurangannya. Perasaan-perasaan penuh iri hati anak-anak terhadap bapaknya diwujudkan pada usia dewasa dengan peralihan kepada Totem. Apabila manusia telah mencapai kedewasaan psikologis, maka dengan sendirinya agama akan ditinggalkan dan lenyap.[10]
Totem sebagai simbol sosial, mula-mula terdapat dalam kehidupan primitif dan ternyata menjelma padanya. Ia suatu fenomena sosial yang tersimpul padanya permulaan sistem masyarakat dengan agama sederhana yang dikendalikan dengan beberapa larangan keras (taboo). Barang suci pada sistem itu selalu hewan yang disangka oleh suku primitif itu bahwa mereka bagian dari hewan tersebut.[11]
Bagi Freud, agama bersumber dari ketidakmampuan manusia melawan kekuatan alam luar dan tekanan instinktif dari dalam dirinya. Pikiran manusia belum mampu mengatasinya melalui counter effect oleh tekanan-tekanan emosional yang lain, fungsi-fungsi yang dipakai untuk mengatasi dan mengontrol apa yang dia tidak mampu untuk mengatasinya secara rasional.
Kalu kita bertanya selanjutnya, apakah dasar kepercayaan ahli agama itu, mereka hanya dapat mengemukakan tiga jawaban yang tidak cocok satu sama lainnya, yaitu:
1. Kepercayaan keagaman dipegang oleh manusia, pertama oleh karena nenek moyang kita telah percaya pada keyakinan itu,
2. Oleh sebab kita mempunyai bukti-bukti yang telah diberikan kepada kita dan terus dipakai,
3. Oleh karena kita dilarang mengajukan pertanyaan, apakah kepercayaan tersebut benar atau tidak?[12]
Freud menyatakan bahwa jika manusia memberikan illusinya tentang suatu Tuhan kebapakan, jika nampak kesendiriannya dan ketidak berartian dalam alam ini, maka ia akan menyenangi seorang anak yang telah meninggalkan rumah bapaknya. Karenanya manusia harus mendidik dirinya pada bentuk realitas. Jika dia mengerti bahwa ia tidak mempercayai selain kemampuan dirinya maka ia akan dapat mempergunakan kemampuannya secara tepat. Hanya manusia merdeka yang mampu mengantisipasi dirinya dari otoritas; otoritas yang mengancam dan melindungi. Ia dapat mempergunakan nalar logisnya dan memahami dunia beserta hukum-hukumnya secara obyektif tanpa illusi. Hanya jika manusia telah dewasa dan meninggalkan masa anak-anak serta meninggalkan rasa ketergantungan dan takut akan otoritas, mampu untuk memahami dan memberanikan diri dalam berpikir tentang dirinya sendiri.
Selain itu, Freud juga menganggap agama memang bersifat fungsional belaka. Agama berfungsi sebagai jawaban manusia atas frustasi yang dialaminya dalam kehidupan. Manusia bertindak religius karena ia mengalami frustasi tersebut. Sedangkan bentuk-bentuk frustasi bermacam-macam, antara lain:
1. Frustasi karena alam, ini timbul karena kesulitan jasmani yang membahayakan kehidupannya.
2. Frustasi Sosial. Adanya konflik individu dan masyarakat, mengakibatkan manusia tidak merasa bahagia. Frustasi masyarakat berarti frustasi orang perorang, dan agama diciptakan manusia sebagai kompensasi untuk frustasi tersebut.
3. Frustasi Moral, karena rasa bersalah. Menurut Freud banyak praktik religius berfungsi sebgai obat untuk menyembuhkan orang dari rasa bersalah.
4. Frustasi karena maut atau kematian yang akan menemui setiap manusia. Sehingga manusia sadar dan merasa tidak berdaya. Kematian merupakan luka paling parah untuk narsisme insani. Agama diabdikan olehnya kepada tujuan ini: mengatasi frustasi yang disebabkan oleh maut.[13]
Dari argumen dan uraian Freud dalam membahas agama seperti tersebut di atas, menurutnya, ada tiga konfirmasi yang menunjukkan kebenaran interpretasinya, yaitu:
1. Sepanjang perkembangan sejarah agama jangkauannya semakin menyempit. Agama harus seantiasa mengosongkan wilayah-wilayah yang luas dan menyerahkan kepada pengetahuan ilmiah, misalnya tenaga-tenaga alam, penyakit, kesuburan, bahkan cakrawala moral. Ini dibuktikan bahwa agama didasarkan pada emosi saja bukan rasio.
2. Peraturan agama dengan hidup emosional tampak juga dalam kenyataan, bahwa orang beragama merasa enggan terhadap setiap macam kritik. Seringkali ia mempertanggungjawabkan keyakinannya dengan menunjukkan pada waktu silam, kepada tradisi yang diterima dari nenk moyang dan mukjizat-mukjizat yang telah berlangsung pada waktu silam itu.
3. Akhirnya manusia membutuhkan agama supaya hukum-hukum moral mempunyai otoritas yang tak tergoncangkan. Ia tidak mau menerima bahwa hukum-hukum moral mempunyai asal-usul manusia saja. Bagi dia agama merupakan keniscayaan sosial. Orang yang menolak agama merebahkan juga penopang-penopang masyarakat.[14]


Catatan Kritis
Metode psikoanalisis dari Freud dalam menjelaskan agama memang amat mencengangkan manusia namun tak sedikit para teoritisi yang menyangkal pendapat-pendapat Freud tersebut. Pengalaman Freud terhadap agama selalu didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan melalui akal belaka dan sangat empiris, tanpa disertai dengan kepercayaan-kepercayaan yang sifatnya mendukung pada keyakinan beragama. Ia juga mengabaikan unsur intuisi pada manusia yang menembus tataran superrasional dan supernatural. Bahkan, lebih pesimis lagi anggapannya bahwa agama itu merupakan suatu bahaya bagi kehidupan manusia, padahal kenyataannya dalam panggung sejarah peradaban manusia, seringkali agama menuntun manusia untuk menjadi lebih beradab.
Freud seringkali menyatakan bahwa ia tidak begitu tertarik dengan masalah-masalah agama, maka kita tidak begitu yakin bagaimana mungkin dia berusaha menjelaskan agama secara utuh. Sehingga sebagian besar teorinya telah dikontruksi khusus untuk agama yang meyakini satu Tuhan. Sedangkan agama lain, yang tidak masuk dalam kategori ini, tidak dicakup oleh teori tersebut.
Yang tak masuk akal lagi pendapat Freud dalam bukunya Totem and Taboo adalah bagaimana mungkin terjadi ingatan komunal tentang peristiwa pembunuhan Oedipal yang telah terjadi ratusan atau ribuan tahun silam tetap bertahan sebagai ingatan traumatik bagi seluruh umat manusia? Barangkali masih bisa dipahami jika trauma-trauma yang dialami semasa anak-anak akan tetap bertahan dalam ingatan selama hidupnya, namun jika secara komunal adalah irrasional. Pemikiran Freud ini muncul karena dipengaruhi oleh teori evolusionisme yang dicetuskan ilmuwan Perancis bernama Lamarck yang kemudian telah terbantahkan oleh munculnya teori Darwin.
[1] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996, h. 54-55
[2] Buku tersebut diterjemahkan oleh Amin Abdullah dengan judul Agama dan Akal Pikiran, Jakarta: Rajawali Press, Cet. III, 1994, h. 1

[3] Non rasional yaitu tidak terdapat atau tidak mengikuti undang-undang tata cara pemikiran yang teliti
[4] Fransisco Jose Moreno, Agama..…h. 125-126
[5] Daniel L. Pals, Seven Theories…., h. 56
[6] Paul Edward, Encyclopedia of Philosophy, New York: Macmillan Publishing Co.Inc & The Free Press, Vol. 3, 1982, h. 251
[7] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. VII, 1979, h. 41-42
[8] Lois Leahy, Masalah Ketuhanan Dewasa Ini, Yogayakarta: Kanisius, 1982, h. 58
[9] Erich Fromm, Psichoanalysis and Religion, London: Yale University Press, 1976, h. 11-12


[10] Lois Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme, Yogyakarta: Kanisius, 1989, h. 49
[11] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa……, h. 39
[12] David Treublood, Philosophy of Religion, terj. M. Rosidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, h. 139
[13] Nico Sjukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Jakarta: Leppenas, 1982, h. 82-85
[14] K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983, 82-105

Demokrasi

DEMOKRASI
DALAM WACANA PEMIKIRAN ISLAM
Oleh: Muh.Wasith Achadi, M.Ag[1]


PENDAHULUAN
Agama dalam sejarah peradaban manusia selalu memiliki pengaruh sangat dahsyat terhadap segala aspek kehidupan manusia. Begitupun dalam masalah bernegara dan berbangsa. Manusia banyak menyandarkan pada pandangan-pandangan agama untuk membangun negara dan pemerintahan.
Islam sebagai agama termuda dalam rumpun agama Ibrahim, juga mempengaruhi ummatnya. Adanya preseden Nabi dan Khulafaurrasyidin dalam membangun negara muslim, seringkali menjadi pedoman umat Islam periode sesudahnya untuk menggunakan hal tersebut sebagai sistem ideal dalam bernegara. Walaupun seringkali duplikasi sistem tersebut banyak menemui kendala karena berbagai hal baru yang ditemui berbeda dengan zaman Nabi.
Dewasa ini sebagian besar negara dunia menganut sistem demokrasi. Wacana demokrasi dikenal umat Islam utamanya melalui kolonialisme Barat, yang ditandai dengan pendudukan Napoleon di Mesir, dan jalur pengiriman mahasiswa muslim ke Eropa dan Amerika Serikat. Di kawasan Timur Tengah, isu demokratisasi mencuat kembali seiring dengan gencarnya gelombang demokratisasi di wilayah bekas Uni Soviet dan Eropa Timur, selanjutnya pasca berakhirnya perang teluk II 1991 dan sesudahnya terjadinya pergolakan politik di Aljazair tahun 1992.[2] Demikian juga yang terjadi di belahan dunia lain seperti Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang didasarkan kepada Undang-undang yang disetujui oleh rakyat, atau pemerintahan yang secara langsung maupun tidak langsung didasarkan pada keinginan mayoritas anggota suatu komunitas masyarakat. Meskipun demokrasi itu didasarkan pada keinginan mayoritas masyarakat, perlindungan terhadap hak minoritas dipandang sebagai sebuah aspek penting dalam sistem demokrasi, dengan kata lain demokrasi adalah majority rule, minority right.[3] Dalam negara yang menganut sistem demokrasi terjamin hak asasi manusia (walau tidak sepenuhnya), karena sistem ini menolak diktatorisme, feodalisme, totalitarianisme yang cenderung despotic. Sehingga hukum yang dianut berdasarkan atas pentingnya menjujung hak asasi manusia.
Bagi muslim yang telah menyebar keseluruh negara-negara dunia, ini menjadi sebuah problematika ideologi, ketika angin demokrasi dewasa ini begitu kuat memasuki kawasan-kawasan negara muslim atau berpenduduk mayoritas muslim. Sehingga pembahasan tentang demokrasi dan agama Islam (compatible or incompatible), bagi para pemikir muslim menjadi suatu topik yang mempunyai pengaruh kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Wawasan Islam Terhadap Demokrasi
Dalam dunia Islam, demokrasi masih menjadi persoalan yang diperdebatkan di kalangan para ahli dan teoritisi Islam. Esposito dan Piscatory membagi pemikiran para teoritisi Islam tentang demokrasi dalam tiga kelompok. Pertama mereka yang berpendapat bahwa Islam dan demokrasi adalah berbeda. Mereka berpendapat bahwa kedaulatan rakyat tidak dapat berdiri di atas kedaulatan Tuhan. Syari’ah adalah sistem hukum dan moral yang lengkap sehingga tidak mungkin adanya legislasi lebih lanjut. Kelompok ini kebanyakan dari kaum fundamentalis dengan tokohnya seperti Sayyid Quthb dan Thabathabai. Kedua, kelompok yang menerima demokrasi tetapi mengakui adanya perbedaan antara Islam dan demokrasi. Kelompok ini dimotori pemikiran al-Maududi dengan konsep “teo-demokrasi”. Al-Maududi menjelaskan bahwa Islam merupakan bentuk dari demokrasi itu sendiri, tetapi terdapat perbedaan antara kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan. Demokrasi dipahami sebagai satu bentuk kedaulatan rakyat, yang berada di bawah hukum Tuhan. Aluran pemikiran ini terefleksi dalam undang-undang Republik Islam Iran, dan juga dipakai oleh kaum fundamentalis moderat Tunisia. Ketiga, kelompok yang menerima demokrasi seutuhnya. Kelompok ini berpendapat bahwa Islam dan demokrasi adalah inheren. Konsep ini didasarkan atas konsep Islam seperti: syura (musyawarah/konsultasi), ijtihad (penalaran bebas), ijma (konsensus), musawah (persamaan), dan ’adl (keadilan). Posisi ini diambil oleh kelompok Islam moderat.[4]
Dalam tulisan ini akan lebih banyak konsentrasi pada pola pemikiran kelompok ketiga yang lebih banyak dianut oleh kaum Islam moderat dengan membahas berbagai konsep yang berhubungan dengan demokrasi Islam dengan tetap membahas dua kelompok pertama sebagai pembanding pemikiran yang berkembang dalam dunia Islam.

A. Kelompok Anti Demokrasi
Kelompok ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang layak bagi demokrasi, sehingga keduanya tidak dapat dipadukan. Tokoh-tokoh penting dari kelompok ini antara lain Syaikh Fadhallah Nuri dan Thabathabai dari Iran, Sayyid Quthb dan al-Sya’rawi dari Mesir, serta Ali Benhadj dari Aljazair.[5]
Bagi Syaikh Fadhallah Nuri, selama debat tentang formulasi konstitusi (1905-1911) di Iran, satu kunci gagasan demokrasi, yaitu persamaan semua warga negara adalah impossible dalam Islam. Terdapat perbedaan yang antara orang-orang yang beriman dan tidak beriman, kaya-miskin, ulama dan pengikutnya. Selain itu ia juga menolak adanya legislasi oleh manusia.[6] Islam telah sempurna mengatur segalanya, sehingga tidak memperkenankan manusia mengatur hukum. Paham konstitusional sebagai bagian demokrasi, karenanya bertentangan dengan Islam. Dalam keyakinannya, tampaknya manusia hanya bertugas melaksanakan hukum-hukum Tuhan.[7]
Sayyid Quthb, pemikir Ikhwan al-Muslimin yang dieksekusi mati oleh rezim Mesir 1966 yang karena itu oleh sebagian kaum Muslim dianggap mati syahid dalam upaya ”kebangkitan Islam”, sangat keras dalam menentang setiap gagasan tentang kedaulatan rakyat. Karena hal itu dianggap sebagai pelanggaran terhadapa kekuasaan Tuhan dan merupakan suatu bentuk tirani sebagaian orang terhadap sebagian lainnya. Mengakui kekuasaan Tuhan berarti menolak segala bentuk kekuasaan manusia. Sambil menekannkan bahwa dalam negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah, ia percaya bahwa syariah sebagai sistem hukum dan moral sudah lengkap, sehingga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya.
Di Aljazair, Ali Benhadj seorang dai populer dan pimpinan FIS (Front Islamique de Salut)[8], menyatakan bahwa demokrasi adalah sebuah konsep Yudeo-Kristen yang harus diganti dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang inheren dalam Islam. Para teoritisi politik dari Barat sendiri, kata Benhadj, mulai melihat demokrasi sebagai suatu sistem yang cacat.[9] Secara khusus konsep dasar dari kekuasaan mayoritas mudah ditolak karena isu-isu hak dan keadilan tidak dapat dikuantifikasi. Semakin besar jumlah suara tidak dengan sendirinya semakin besar posisi moralnya. Bagi Ali Benhadj yang cenderung dogamtis dan militan ini, demokrasi tidak lebih dari alat Barat semata. Demokrasi hanya baik jika melahirkan pemerintahan pro Barat.[10]
Walau agak berbeda, Thabathabai, seorang mufassir dan filosof Iran, berpendapat senada. Islam dan demokrasi menurutnya tidak bisa dirujukkan karena prinsip mayoritasnya. Setiap agama besar dalam kelahirannya selalu bertentangan –bukan menyesuaikan- dengan kehendak mayoritas. Seringkali manusia tidak menyukai yang adil dan benar. Ia mengutip ayat, ”Seandainya kebenaran itu mengikuti kehendak mereka sendiri, pasti akan binasalah langit dan bumi beserta isinya” (QS. 23: 70-71). Karena itu, katanya, salah jika menganggap tuntutan mayoritas selalu adil dan mengikat.[11]
Kelompok ini juga didukung oleh muslim puritan, istilah dari Khaled Abou El Fadl terhadap kelompok pemurnian Islam. Orang-orang puritan memandang demokrasi sebagai bid’ah, yang merupakan temuan dari Barat sehingga harus ditolak. Mereka ingin mengusung pola khilafah dalam pemerintahan dengan menggunakan sistem syura yang ditegaskan lebih tinggi dari sistem demokrasi Barat. Seorang pemimpin yang adil haruslah pemimpin yang memberlakukan hukum Tuhan sehingga harus memnuhi syarat-syarat yang ketat berkaitan dengan karakter, kesalehan, dan pengetahuan agamanya untuk menjadi pemimpin. Ia harus bermusyawarah dengan orang yang berilmu dan saleh untuk memilih dan menentukan tindakan yang tepat.
Akan tetapi, tidak dijelaskan tentang jaminan prosedural yang digunakan untuk memastikan bahwa pemimpin tersebut tetap adil, baik, atau saleh. Dan bagaimana ukuran-ukuran yang dipakai untuk memastikan bahwa pemimpin itu akan betul-betul mematuhi undang-undang dalam yurisprudensi Islam dan tidak akan menyelewengkan mandatnya. Mereka hanya berasumsi bahwa sepanjang penguasa itu saleh, maka kesalehan tersebut akan menjaga dan mengendalikannya untuk tidak berlaku despotic terhadap rakyatnya.[12]

B. Kelompok Yang Mengakui Adanya Perbedaan
Kelompok kedua ini mengakui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam tetapi juga berpendapat adanya perbedaan diantara keduanya, dengan pijakan doktrin bahwa kedaulatan Tuhan (Syariah) akan membatasi kedaulatan rakyat. Di Kelompok ini dipelopori oleh Abu ’Ala al-Maududi dari Pakistan yang agaknya juga diikuti oleh kelompok revolusioner Iran di bawah Imam Khomeini dan gerakan Hizb al-Nahdhah (Partai Kebangkitan) di Tunisia. Dalam pandangan al-Maududi, ada kemiripan wawasan antara Islam dan Demokrasi. Walau ada perbedaan yang terletak pada demokrasi Barat yaitu suatu negara demokratis menikmati hak-hak kedaulatan mutlak, maka dalam demokrasi Islam, kekhilafahan ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang telah digariskan hukum illahi, sekalipun konsensus rakyat menuntut kedaulatan Tuhan tersebut. Hal ini tidak berarti mengebiri potensi rasional manusia dan tidak ada peluang bagi lagislasi manusia sama sekali. Terhadap urusan administrasi dan masalah yang tidak ditemui penjelasannya dalam syariah, maka ditetapkan berdasarkan konsensus kaum muslimin yang memnuhi kualifikasi tertentu. Dalam hal ini, sistem demokrasi Islam mengambil jalan tengah, yang oleh al-Maududi disebut dengan istilah “teo-demokrasi”. Yaitu suatu sistem pemerintahan demokrasi illahi, suatu sistem dimana kedaulatan rakyat dibatasi oleh kedaulatan Tuhan lewat hukum-hukum-Nya. Firman Allah yang dijadikan dasar oleh al-Maududi antara lain QS. 12:40, 3:154, 16:116, dan 5:44.[13]
Di Mesir terdapat tokoh dari kelompok kedua ini, yaitu Taufiq asy-Syawi yang menguraikannya dalam bukunya Fiqh al-syura wa al-Istisyarah. Dia berpendapat bahwa demokrasi merupakan suatu bentuk syura versi Eropa. Demokrasi tidak sama dan bukan syura, karena tidak berpegang pada syariah Islam. Menurutnya sistem syura telah selangkah lebih maju ketimbang sitem demokrasi modern, karena sistem ini mewajibkan pada pemimpin untuk berpegang pada syariah atau sumber samawi yang lebih tinggi dari kekuasaan pemimpin. Dalam hal ini sistem syura lebih independen dari penguasa, serta jauh dari sikap despotic, hawa nafsu manusia dan akan lebih adil daripada sistem demokrasi modern yang bersandar pada hukum wadh’i (aturan buatan manusia) yang tidak terjamin kebebasannya dari hawa nafsu.[14]
Pemikiran Mohamed Arkoun tentang demokrasi juga dapat dimasukkan pada kelompok ini, walaupun ini masih bisa diperdebatkan.[15] Arkoun tidak menyetujui pembentukan negara Islam dan lebih menyetujui terbentuknya negara demokratis yang tidak mengenal pertentangan nalar agama dengan nalar filsafat, karena akan mereduksi kualitas universalitas nilai-nilai Islam dan demokrasi.
Islam berusaha mewujudkan masyarakat muslim yang madani, sebuah masyarakat yang dibangun berlandaskan moral yang luhur. Dunia Barat ingin membangun civil society berbasis penghormatan HAM, transparansi, akuntabilitas dan good governance. Bagi Barat, demokrasi merupakan usaha untuk menemukan bentuk pemerintahan terbaik, yang menjamin kebebasan dan hak-hak warganya, meski dengan menempuh eksperimen dan pengalaman yang panjang. Di sisi lain, Islam dengan prinsip syura, ijtihad dan penerapan syariah, berusaha mewujudkan suatu masyarakat yang bermoral, bertanggungjawab, bermartabat, sehingga masyarakat tersebut mendapat ridha dari Allah. Terlihat bahwa Arkoun ingin mempertahankan orisinalitas tertentu dari keislaman sebagai khazanah klasik sekaligus memperkaya dengan khazanah modern. Arkoun mengkritik habis sekuralisasi gaya Ataturk di Turki yang menurutnya merupakan bentuk kesadaran naif yang dilatari oleh kekagetan budaya sehingga Ataturk dan Turki tercerabut dari referensi-referensi Islam khususnya institusionalnya. Meskipun begitu, ia juga menolak model negara Islam Khomeini di Iran karena telah melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi (hukum, institusi negara, administrasi, penguasa dan fungsinya). Sebab model ini tidak akan mampu bertahan dihadapkan pada fakta bahwa setiap orang memiliki kesetiaan sekular berdasarkan kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah yang disebut nasionalisme.[16]

C. Kelompok Pro Demokrasi
Kelompok ketiga ini melihat bahwa Islam didalam dirinya menerima sepenuhnya demokrasi sebagai sesuatu yang universal. Tokoh-tokoh kelompok ini cukup banyak, antara lain Fahmi Huwaidi, al-Aqqad, Muhammad Husein Heikal, dan Zakariya Abdul Mun’im Ibrahim al-Khatib dari Mesir, Mahmoud Mohamed Taha dan Abdullah Ahmad al-Na’im dari Sudan, Bani Sadr dan Mehdi Bazargan dari Iran, dan Hasan al-Hakim dari Uni Emirat Arab.[17]
Fahmi Huwaidi melakukan sintesa yang viable antara Islam dan Demokrasi dengan sangat bagus. Baginya, demokrasi adalah pemilu yang jujur, adil, dan kompetitif serta akuntabilitas penguasa karena jika tidak maka akan diturunkan dari jabatannya. Lewat mekanisme seperti pemilu dan pemisahan kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif, menyatakan bahwa demokrasi melawan diktatorisme dan otoritarianisme. Sebab itu, demokrasi sangat dekat dengan jiwa Islam dan substansinya sejalan dengan Islam.
Adapun beberapa alasan Huwaidi adalah: pertama, beberapa hadis Nabi menunjukkan bahwa Islam menghendaki pemerintahan yang disetujui rakyatnya. Misalnya hadis riwayat Muslim dari Auf bin Malik disebutkan: Sebaik-baiknya imam-imam (penguasa) kalian adalah orang-orang yang kalian sukai dan merekamenyukai kalian, yang kalian doakan dan merekapun mendoakan kalian.......
Kedua, penolakan Islam terhadap kediktatoran. Misalnya Qur’an berkisah tentang Namrudz menunjukkan kekuasaan despotic-nya (QS. 2:258), Raja Fir’aun yang sombong bahkan mengaku sebagai Tuhan (QS. 44:31, 79:24, 28:38). Ketiga, dalam Islam, Pemilu merupakan kesaksian rakyat dewasa bagi kelayakan seorang kandidat, mereka harus mempersaksikannya dengan adil dan jujur serta tidak menjadi saksi palsu (QS. 2: 282-283, 22:30, 65:2). Sebab jika tidak, mereka akan diperintah oleh orang yang tidak punya kompetensi memadai.
Alasan keempat, demokrasi merupakan upaya mengembalikan sistem kekhilafahan Khulafaurrasyidin yang memberikan hak kebebasan rakyat yang hilang ketika beralihnya kekuasaan Islam pada sistem kerajaan monarkhi Bani Umayah. Kelima, negara Islam adalah negara keadilan dan persamaan manusia di depan hukum. Keenam, konsep imamah adalah kontrak sosial yang riil, yang karenanya jika seorang penguasa tidak mau menerima teguran boleh diturunkan dari kekuasaannya.
Adapun pendapat Fahmi Huwaidi dalam merespon keberatan kelompok pemikiran yang menolak demokrasi dan kelompok pemikiran yang mengakui adanya perbedaaan antara konsep Islam dan Demokrasi adalah sebagai berikut: (1) demokrasi memang benar gagasan Barat, tetapi kedudukannya sama dengan kasus pemakaian strategi parit sebagai tradisi Persia yang diadopsi Nabi dalam perang khandaq atau cap (stempel) yang juga diadopsi Nabi. (2) demokrasi bukanlah penolakan kekuasaan Tuhan atas manusia, baik kekuasaan dalam bentuk sunnatullah atau hukum yang diturunkan lewat wahyu. Karena setiap muslim pastilah menyandarkan keputusan terakhirnya pada keputusan Tuhan. (3) suara mayoritas tidaklah identik dengan kesesatan (QS. 6:16), kekufuran atau ketidaksyukuran (QS. 2:243), dan tidak pula identik dengan tidak memahami atau mengetahui Allah, ajaran dan kekuasaan-Nya (QS. 12:103, 11:17, 7, 187) seperti pada masyarakat kafir. (4) legislasi dalam parlemen tidaklah berarti penentangan terhadap legislasi Tuhan. Penetapan suatu hal adalah pada hal-hal yang belum diketahui secara pasti dalam agama. Penetapan itu hanya belaku pada wilayah-wilayah ijtihadiyah (mashalih mursalah/ kepentingan umum) atau sosial.[18]
Khaled Abou El-Fadl, dengan mengikuti pemikiran muslim moderat tentang demokrasi, berpendapat bahwa keadilan adalah nilai inti dan mendasar dari Islam dalam mewujudkan pemerintahan yang baik. Ketundukan sejati kepada Tuhan sulit terwujud jika ketidakadilan merambah di tengah-tengah masyarakat. Landasan keadilan akan memberikan hak kepada setiap orang dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Hal ini mewajibkan umat Islam membangun suatu sistem politik yang yang berpeluang menjaga keseimbangan tersebut. Lebih lanjut lagi, pencapaian keadilan mengharuskan muslimin utnuk menemukan suatu sistem yang memungkinkan orang memperoleh akses terhadap kekuasaan dan institusi dalam masyarakat yang sanggup menegakkan keadilan dan melindungi orang dari penindasan.
Dan, dari pengalaman sejarah manusia dengan jelas memperlihatkan bahwa hanya sistem pemerintahan konstitusional demokratis yang bisa memenuhi syarat-syarat tersebut. Pengalaman juga menunjukkan, bahwa hanya sistem pemerintahan yang terbangun di atas daftar kewajiban dan hak individu yang diakui secara konstitusionallah yang mampu menjunjung tinggi harkat martabat manusia.[19]
Tentang pemegang kedaulatan dalam sistem demokrasi, Khaled menjelaskan, bahwa otoritas terakhir ada pada Tuhan. Tetapi Tuhan mendelegasikan otoritas total kepada manusia untuk menjalankan urusan-urusan mereka sesuai dengan kehendak-bebas mereka. Tuhan menunda hak-Nya untuk memberikan pahala atau menghukum siapa yang dikehendaki-Nya kelak di hari akhir. Baginya, manusia adalah pemegang kedaulatan sepanjang menyangkut hukum yang mengatur masalah-masalah manusia, sedangkan Tuhan yanag memegang kedaulatan yang menyangkut hukum abadi. Karenanya, manusia bebas mengatur sepanjang peraturan tersebut berupaya mewujudkan nilai-nilai kebertuhanan di bumi (yaitu, berusaha memenuhi hukum abadi Tuhan).[20]
Penerapan dari ketiga pandangan tersebut, dalam pembangunan bangsa modern di dunia muslim, menurut Esposito[21], menunjukkan tiga pola negara: sekular, Muslim dan Islami. Turki di bawah kepemimpinan Mustofa Kemal Ataturk (bapak bangsa Turki, w. 1938) merupakan negeri muslim yang memilih jalan sekular sepenuhnya, dengan membatasi agama dalam kehidupan pribadi (privatisasi agama). Saudi Arabia adalah negara yang memproklamirkan dengan sepenuhnya sebagai negara Islam. Sedangkan mayoritas negeri berpenduduk muslim memilih jalan tengah atau bisa disebut negara Muslim. Dalam arti mayoritas penduduk dan tradisinya adalah muslim (Indonesia masuk kelompok ini). Hampir semua negara-negara ini mempunyai aturan-aturan yang ”islami” seperti persyaratan kepala negara harus muslim, pernyataan bahwa Islam adalah agama negara, atau kontrol negara terhadap agama lewat suatu Departemen Agama. Walaupun klasifikasi ini tidak sepenuhnya memenuhi seluruh karakteristik negara-negara muslim di dunia namun agaknya inilah yang bisa memetakan pola pemerintahan yang dianut.

PENUTUPMencermati ketika wacana pemikiran Islam terhadap demokrasi seperti terurai di atas, menunjukkan bahwa pemikiran Islam tidak tunggal dan semakin menegaskan asumsi bahwa dialektika pemikiran manusia terhadap pemahaman dan interpretasi ajaran agamanya terus berkembang secara dinamis. Dengan demikian, proses pencarian kebenaran makna sejati (ijtihad) akan tetap terus terbuka lebar sampai kapanpun, dan tidak ada finalitas yang berujung pada tindakan sewenang-wenang (despotic). Meminjam istilah Esposito, hal ini akan melahirkan Islam warna-warni dengan keragaman ekspresi menuju The Straight Path (al-shirath al-mustaqim). Demikian pula dalam konteks memahami demokrasi yang jika dipakai sebagai sistem tata pemerintahan memiliki implikasi sangat besar bagi hidup dan kehidupan umat Islam, maka discourse akan hal tersebut memiliki arti penting yang besar. Maka tulisan kecil ini hanyalah lontaran bahan diskusi lebih lanjut yang semoga memiliki makna. Waallahu a’lam bi al-shawab
[1] Makalah dipresentasikan dalam seminar kelas mata kuliah Pemikiran Islam Kontemporer yang dibimbing oleh Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Program Doctor Islamic Studies pada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun akademik 2007/2008.
[2] Lihat Riza Sihbudi, Masalah Demokratisasi di Timur Tengah, dalam Imam Aziz dkk., Agama, Demokratisasi dan Keadilan, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 154.
[3] Nurcholis Majid, Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia, Beberapa pandangan Dasar dan Prospek Pelaksanaannya sebagai kelanjutan Logis Pembangunan Nasional, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1994, hlm. 217.
[4] Lihat Riza Sihbudi, Masalah Demokratisasi …., hlm. 171-175. dan John L. Esposito, Islam dan Demokrasi, dalam Islamika No. 4 April-Juni 1994, hlm. 14-23. John L. Esposito, Ancaman Islam, Mitos atau Realitas, terj. Alawiyah Abdurrahman dan Missi, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 58-59.
[5] Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, hlm. 47
[6] Ibid, hlm. 48
[7] Lihat lebih lanjut dalam John L. Esposito, Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 118
[8] Partai Front Keselamatan Islam di Aljazair, yang sejak tahun 1992 dinyatakan terlarang menyusul kemenangannya dalam pemilu Aljazair 1992 dan 1992.
[9] Lihat David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Jakarta: LP3ES, 1985, hlm. 216
[10] John L. Esposito dan John O Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, Problem dan Prospek, Terj. Rahman Astuti, Bandung: Mizan, 1999, hlm. 214
[11] Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syiah, Pemikiran Politik Modern Menghadapi Abad 20, Bandung: Pustaka, 1988, hlm. 211
[12] Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa, Jakarta: Serambi, 2006, hlm. 237-239
[13] Lihat dalam Abul A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat, Bandung: Mizan, 1990, hlm. 160-166, 243-245 dan al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, terj. Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1984, hlm. 93-109.
[14] Taufiq asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, terj. Djamaludin ZS, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hlm. 21-23, 550-551.
[15] Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi……., hlm. 52
[16] Lihat Mohamed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994, hlm. 220; Mohamed Arkoun, Rethinking Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 34, 42; dan Suadi Putro, Mohamed Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 67-95.
[17] Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi……., hlm.53
[18] Fahmi Huwaidi, Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani, terj. M. Abd Ghofar, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 193-292
[19] Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam ……………, hlm. 225-226
[20] Ibid, hlm. 234
[21] John L. Esposito, Islam Warna-warni, Ragam Ekspresi menuju “Jalan Lurus”, terj. Arif Maftuhin, Jakarta: Paramadina, 2004, hlm. 210