Rabu, 26 Maret 2008

SIGMUND FREUD DAN AGAMA

AGAMA DAN KEPRIBADIAN
DALAM PANDANGAN SIGMUND FREUD
Oleh: Muh. Wasith Achadi, M.Ag
-------------------------------------------------------------------------

Religion would thus be the universal obsessional neurosis of humanity.
Freud: The Future of an Illusion

Pendahuluan
Agama telah menjadi kajian yang sangat panjang dari para teoritisi dan filsuf dunia. Hal ini terjadi karena telah diakui bahwa agama mempunyai pengaruh sangat besar dalam kehidupan manusia baik itu yang betul-betul menjalankan agama dengan baik maupun yang sama sekali tidak percaya pada agama (atheis). Sigmund Freud, salah seorang teoritisi Barat abad 19/20 yang juga berusaha memahami fenomena agama dengan metode psikoanalisanya dalam upaya mendeskripsikan agama dan kepribadian manusia.
Sigmund Freud (1856-1939) adalah seorang dokter, khususnya dibidang riset tentang otak manusia. Dengan riset-risetnya dia telah menggemparkan dunia kedokteran dan masyarakat umum karena ia mengemukakan teori analisa baru yang kontroversial tentang kepribadian manusia, yaitu ”psikoanalisa”. Ternyata teori psikoanalisa Freud tidak hanya merambah dunia kedokteran saja, namun mampu juga menyingkap dan memberikan perspektif baru dalam persoalan-persoalan sejarah manusia, baik masyarakat, moral filsafat dan tak terkecuali agama.[1]
Dalam kajian psikologi, kepercayaan agama bersumber dari ketidakmampuan manusia melawan kekuatan alam luar dan tekanan instinktif dari dalam diri manusia. Agama muncul lebih dulu pada tingkat perkembangan manusia ketika ia belum dapat memepergunakan pikirannya untuk melawan tekanan-tekanan dari luar dan dalam dirinya. Tetapi bilamana manusia telah mampu mempergunakan rasionality-nya dan telah mencapai kedewasaan psikologis, maka agama sudah tidak dibutuhkan lagi. Oleh karena itu Freud mengatakan bahwa agama hanyalah illusi.
Kepercayaan beragama adalah sekumpulan jawaban yang didasarkan atas ilmu ketuhanan atau penafsiran atas kekuatan-kekuatan batin/ghaib terhadap pertanyaan mendasar yang ditimbulkan oleh akal pikiran manusia, seperti: apa makna dan tujuan hidup?, darimana kita berasal dan kemana kita akan kembali?, mengapa kita harus mati?, kepada siapa kita harus bergantung dikala memperoleh kemalangan dan kemujuran? Atau ketika nasib kita kurang beruntung dan sebagainya.
Fransisco Jose Moreno dalam buku Between Religion and Faith[2] menyebutkan bahwa kepercayaan atau keimanan merupakan proses kejiwaan (naluri rasa takut dan keadaan jiwa manusiawi); dengan kepercayaan itu kita kesampingkan kemampuan otak dengan cara menerima jawaban-jawaban yang bersifat non rasional[3] terhadap pertanyaan mendasar mengenai kehidupan. Manakala kita menggunakan kepercayaan untk menerima jawaban-jawaban yang didasarkan atas teologi atau atas dasar kekuatan ghaib di luar alam semesta, maka kita ada di depan pintu kehadiaran agama.
Jawaban non rasional dibutuhkan dan harus ada untuk menjawab pertanyaan yang bersifat rasional agar kita dapat memuaskan kebutuhan emosional kita, akan rasa tentram misalnya. Jawaban yang bersifat agamis diterima melalui penglihatan intuitif-batiniah, yang kebenarannya tidak tergantung pada proses pemikiran rasional, juga tidak terkurangi kebenarannya karena keharusan pembenaran rasional ini.[4]
Sigmund Freud, seorang pakar psikoanalisa mengkritisi kepercayaan agama ini dari sudut pandang ilmu jiwa. Freud memulai pembahasannya setelah membagi struktur jiwa manusia dan dia berkesimpulan bahwa doktrin keagamaan adalah illusi dan tidak dapat dibuktikan. Dan bagaimana jalan pikiran Freud hingga sampai kepada kesimpulan yang mengejutkan tersebut akan dibahas dalam kajian makalah ini dengan diakhiri catatan kritis penulis.

1. Riwayat Hidupnya
Sigmund Freud adalah seorang pakar dan penemu psikoanalisa. Ia lahir dari keluarga Yahudi di Freiberg, kota kecil di wilayah Moravia, pada tanggal 6 Mei 1856. dari umur 4 hingga 82 tahun ia tinggal di Wina.
Freud bekerja selama beberapa tahun di laboratorium psikologi EW. Von Bruicke, sebuah klinik psikhiatri, selanjutnya ia meneruskan penelitian tentang spesialis anatomi dengan TH. Meynert, tetapi karena keadaan ekonominya tidak mengijinkan untuk melanjutkan penelitian yang menjadi karirnya, ditambah beban lain, maka ia memutuskan untuk menikah. Pada tahun 1886, ia mulai membuka praktik sebagai seorang ahli neurologi. Pada tahun berikutnya, ia menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi perkembangan neurologi yaitu studi tentang aphasia dan cerebral paralysis (kelumpuhan pada radang otak) terhadap anak-anak yang pada waktu itu sangat diperhatikan oleh para neurolog.
Selanjutnya, Freud di Paris bersama ahli neurolog bernama Jean Charcot, mengadakan penyelidikan tentang histeria dari sudut pandang psikologi. Joseph Breuer (pakar psikologi Wina) memberitahukan tentang pengalaman yang luar biasa, dimana ia telah menyembuhkan gejala-gejala histeria dengan melalui pasien untuk mengingat dalam hipnosis dan tingkah laku aslinya yang dikeluarkan dari emosi-emosi yang mengiringinya.
Setelah kembalinya dari Paris, Freud mengajak Breuer membahas kasus tersebut dan mempraktikkan metode yang sama serta menambahnya satu bab tentang konklusi-konklusi teoritik yang diangkat dari observasi-observasinya, kemudian kajian itu menjadi buku berjudul Studies of Hysteria (1895) yang ditulis bersama Breuer. Buku ini sangat penting artinya bagai karya-karya Freud berikutnya.
Di sini digambarkan proses ketertekanan (repression) kondisi seseorang yang kesulitan memaksakan diri melupakan kenangan pahit hidup mereka. Freud juga sukses menangani kasus gangguana syaraf dengan hipnotis. Dia juga telah mengklaim berhasil menyembuhkan pasiennya dengan cara melacak cerita-cerita yang dihubungkan dengan kejadian yang menyebabkan masalahnya. Penggunaan pendekatan “percakapan” ini merupakan langkah kunci bagi Freud. Selain itu, ia juga telah mengembangkan suatu cara “investigasi” dan “perawatan” terhadap pikiran manusia yang ia jadikan inti dari seluruh karyanya. Metode inilah yang dinamakan “psikoanalisa”.[5]

2. Freud dan Agama
Pembahasan Freud tentang agama menyatakan bahwa agama merupakan produk dari keinginan (it too is the product of wish fulfilment). Dalam bentuk monoteistiknya ia menempatkan kembali kemungkinan terjadinya kekeliruan realitas bapak dengan proyeksi di atas langit mengenai suatu yang Maha Kuasa dan tidak dapat salah. Dengan ini dimaksudkan bahwa keadaan anak-anak boleh jadi menerima terus hingga masa remaja. Bahkan ini menunjukkan kepada kita bahwa agama mengabadikan contoh perilaku anak-anak, lebih-lebih dalam hubungannya dengan peribadatan dan dosa. Bahkan dengan teliti ia menganggap agama sebagai suatu bagian asutan secara parsial dari illusi (but the thougth of religion as a particulary demaging species of illusion). Oleh karenanya ia bertempur melawan ilmu pengetahuan untuk membedakan antara yang terjadi dalam fakta dan apa yang kita inginkan untuk terjadi.[6]
Zakiah Darajat menerangkan bahwa upacara-upacara agama yang terlihat sebagai tindakan-tindakan remeh dan tidak berarti itu juga menunaikan fungsinya, yaitu pemikiran terhadap dosa yang disangka dan meringankan kepedihan dalam jiwa yang disebabkan oleh super-ego. Dari itu Freud mengambil kesimpulan (tahun 1907) bahwa compulsion dan obsession adalah agama tertentu yang telah rusak, sedangkan agama adalah gangguan jiwa yang umum.
Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa teori psikoanalisa tentang agama dalam unsur-unsurnya itu adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya kepercayaan agama itu seperti keyakinan tentang agama, keadilan, surga dan neraka, tak lain adalah hasil dari pemikiran kekanak-kanakan yang berdasarkan kelezatan, yang mempercayai adanya kekuatan mutlak bagi pemikiran-pemikiran.
2. Sikap seseorang terhdap Tuhan adalah pengalihan sikapnya terhadap Bapak, yaitu sikap Oedip yang bercampur antara takut dan butuh akan kasih sayang.
3. Doa-doa dan lainnya (dari penenang agama) adalah cara-cara yang tidak disadari (obsession) untuk mengurangi rasa berdosa, yaitu perasaaan yang ditekan akibat pengalaman-pengalaman seksual yang kembali kepada masa pertumbuhannya.[7]
Jadi pada dasarnya melihat unsur-unsur tersebut menyatakan bahwa agama itu adalah gangguan jiwa (neurosis) dan kemudian kembali kepada hidup yang berdasarkan kelezatan semata. Kepercayaan dalam agama senantiasa didasarkan atas keinginan. Freud mengatakan bahwa doktrin keagamaan adalah illusi yang tidak dapat dibuktikan. Oleh sebab itu, Prof. A. Ple, seorang ahli termasyhur penganut faham Freudis kiranya selalu berpendapat bahwa seseorang religius hanya dapat tetap neurosis dan infantil.[8]
Banyak orang yang mengatakan bahwa penyelidikan Freud itu akan melemahkan kepercayaan agama pada masa sekarang, akan tetapi sesungguhnya Freud sendiri tidak pernah menyelidiki agama yang sudah diuraikan oleh ahli-ahli agama pada zaman kemajuan ini, sehingga pendapat Freud tersebut ditanggapi secara kontroversial.

3. Agama Dalam Psikoanalisa Freud
Menurut Freud, agama adalah repetisi (pengulangan) pengalaman masa kanak-kanak. Sebagai kanak-kanak, manusia selalu diselimuti rasa tidak aman dalam mempercayai, mengagumi dan menakuti bapaknya. Freud membandingkan agama dengan obsesional jiwa yang kita dapatkan pada masa kanak-kanak. Menurutnya agama adalah kumpulan neurosis yang disebabkan keadaaan serupa dari produk jiwa kanak-kanak.
Analisisnya mengenai dasar-dasar psikologi agama, berusaha menunjukkan mengapa seseorang memformulasikan ide tentang Tuhan. Bahkan pernyataannya dikerjakan lebih dari sekedar untuk menempatkan dasar-dasar psikologi ini. Pernyataannya bahwa ketidak realitaan konsep teistik ini didemonstrasikan dengan membebaskan dirinya menuju dasar illusi mengenai harapan-harapan manusia. Disamping itu Freud berusaha untuk membuktikan bahwa agama itu adalah suatu illusi.[9]
Dalam buku The Future of an Illusion, Freud menekankan dan menggeneralisasikan teori ini. Sang anak mencari perlindungan pada bapaknya, orang dewasa karena perpanjangan masa infantile menciptakan seorang bapak yang lebih kuat dari manusia dan untuk mengisi kekurangannya. Perasaan-perasaan penuh iri hati anak-anak terhadap bapaknya diwujudkan pada usia dewasa dengan peralihan kepada Totem. Apabila manusia telah mencapai kedewasaan psikologis, maka dengan sendirinya agama akan ditinggalkan dan lenyap.[10]
Totem sebagai simbol sosial, mula-mula terdapat dalam kehidupan primitif dan ternyata menjelma padanya. Ia suatu fenomena sosial yang tersimpul padanya permulaan sistem masyarakat dengan agama sederhana yang dikendalikan dengan beberapa larangan keras (taboo). Barang suci pada sistem itu selalu hewan yang disangka oleh suku primitif itu bahwa mereka bagian dari hewan tersebut.[11]
Bagi Freud, agama bersumber dari ketidakmampuan manusia melawan kekuatan alam luar dan tekanan instinktif dari dalam dirinya. Pikiran manusia belum mampu mengatasinya melalui counter effect oleh tekanan-tekanan emosional yang lain, fungsi-fungsi yang dipakai untuk mengatasi dan mengontrol apa yang dia tidak mampu untuk mengatasinya secara rasional.
Kalu kita bertanya selanjutnya, apakah dasar kepercayaan ahli agama itu, mereka hanya dapat mengemukakan tiga jawaban yang tidak cocok satu sama lainnya, yaitu:
1. Kepercayaan keagaman dipegang oleh manusia, pertama oleh karena nenek moyang kita telah percaya pada keyakinan itu,
2. Oleh sebab kita mempunyai bukti-bukti yang telah diberikan kepada kita dan terus dipakai,
3. Oleh karena kita dilarang mengajukan pertanyaan, apakah kepercayaan tersebut benar atau tidak?[12]
Freud menyatakan bahwa jika manusia memberikan illusinya tentang suatu Tuhan kebapakan, jika nampak kesendiriannya dan ketidak berartian dalam alam ini, maka ia akan menyenangi seorang anak yang telah meninggalkan rumah bapaknya. Karenanya manusia harus mendidik dirinya pada bentuk realitas. Jika dia mengerti bahwa ia tidak mempercayai selain kemampuan dirinya maka ia akan dapat mempergunakan kemampuannya secara tepat. Hanya manusia merdeka yang mampu mengantisipasi dirinya dari otoritas; otoritas yang mengancam dan melindungi. Ia dapat mempergunakan nalar logisnya dan memahami dunia beserta hukum-hukumnya secara obyektif tanpa illusi. Hanya jika manusia telah dewasa dan meninggalkan masa anak-anak serta meninggalkan rasa ketergantungan dan takut akan otoritas, mampu untuk memahami dan memberanikan diri dalam berpikir tentang dirinya sendiri.
Selain itu, Freud juga menganggap agama memang bersifat fungsional belaka. Agama berfungsi sebagai jawaban manusia atas frustasi yang dialaminya dalam kehidupan. Manusia bertindak religius karena ia mengalami frustasi tersebut. Sedangkan bentuk-bentuk frustasi bermacam-macam, antara lain:
1. Frustasi karena alam, ini timbul karena kesulitan jasmani yang membahayakan kehidupannya.
2. Frustasi Sosial. Adanya konflik individu dan masyarakat, mengakibatkan manusia tidak merasa bahagia. Frustasi masyarakat berarti frustasi orang perorang, dan agama diciptakan manusia sebagai kompensasi untuk frustasi tersebut.
3. Frustasi Moral, karena rasa bersalah. Menurut Freud banyak praktik religius berfungsi sebgai obat untuk menyembuhkan orang dari rasa bersalah.
4. Frustasi karena maut atau kematian yang akan menemui setiap manusia. Sehingga manusia sadar dan merasa tidak berdaya. Kematian merupakan luka paling parah untuk narsisme insani. Agama diabdikan olehnya kepada tujuan ini: mengatasi frustasi yang disebabkan oleh maut.[13]
Dari argumen dan uraian Freud dalam membahas agama seperti tersebut di atas, menurutnya, ada tiga konfirmasi yang menunjukkan kebenaran interpretasinya, yaitu:
1. Sepanjang perkembangan sejarah agama jangkauannya semakin menyempit. Agama harus seantiasa mengosongkan wilayah-wilayah yang luas dan menyerahkan kepada pengetahuan ilmiah, misalnya tenaga-tenaga alam, penyakit, kesuburan, bahkan cakrawala moral. Ini dibuktikan bahwa agama didasarkan pada emosi saja bukan rasio.
2. Peraturan agama dengan hidup emosional tampak juga dalam kenyataan, bahwa orang beragama merasa enggan terhadap setiap macam kritik. Seringkali ia mempertanggungjawabkan keyakinannya dengan menunjukkan pada waktu silam, kepada tradisi yang diterima dari nenk moyang dan mukjizat-mukjizat yang telah berlangsung pada waktu silam itu.
3. Akhirnya manusia membutuhkan agama supaya hukum-hukum moral mempunyai otoritas yang tak tergoncangkan. Ia tidak mau menerima bahwa hukum-hukum moral mempunyai asal-usul manusia saja. Bagi dia agama merupakan keniscayaan sosial. Orang yang menolak agama merebahkan juga penopang-penopang masyarakat.[14]


Catatan Kritis
Metode psikoanalisis dari Freud dalam menjelaskan agama memang amat mencengangkan manusia namun tak sedikit para teoritisi yang menyangkal pendapat-pendapat Freud tersebut. Pengalaman Freud terhadap agama selalu didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan melalui akal belaka dan sangat empiris, tanpa disertai dengan kepercayaan-kepercayaan yang sifatnya mendukung pada keyakinan beragama. Ia juga mengabaikan unsur intuisi pada manusia yang menembus tataran superrasional dan supernatural. Bahkan, lebih pesimis lagi anggapannya bahwa agama itu merupakan suatu bahaya bagi kehidupan manusia, padahal kenyataannya dalam panggung sejarah peradaban manusia, seringkali agama menuntun manusia untuk menjadi lebih beradab.
Freud seringkali menyatakan bahwa ia tidak begitu tertarik dengan masalah-masalah agama, maka kita tidak begitu yakin bagaimana mungkin dia berusaha menjelaskan agama secara utuh. Sehingga sebagian besar teorinya telah dikontruksi khusus untuk agama yang meyakini satu Tuhan. Sedangkan agama lain, yang tidak masuk dalam kategori ini, tidak dicakup oleh teori tersebut.
Yang tak masuk akal lagi pendapat Freud dalam bukunya Totem and Taboo adalah bagaimana mungkin terjadi ingatan komunal tentang peristiwa pembunuhan Oedipal yang telah terjadi ratusan atau ribuan tahun silam tetap bertahan sebagai ingatan traumatik bagi seluruh umat manusia? Barangkali masih bisa dipahami jika trauma-trauma yang dialami semasa anak-anak akan tetap bertahan dalam ingatan selama hidupnya, namun jika secara komunal adalah irrasional. Pemikiran Freud ini muncul karena dipengaruhi oleh teori evolusionisme yang dicetuskan ilmuwan Perancis bernama Lamarck yang kemudian telah terbantahkan oleh munculnya teori Darwin.
[1] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996, h. 54-55
[2] Buku tersebut diterjemahkan oleh Amin Abdullah dengan judul Agama dan Akal Pikiran, Jakarta: Rajawali Press, Cet. III, 1994, h. 1

[3] Non rasional yaitu tidak terdapat atau tidak mengikuti undang-undang tata cara pemikiran yang teliti
[4] Fransisco Jose Moreno, Agama..…h. 125-126
[5] Daniel L. Pals, Seven Theories…., h. 56
[6] Paul Edward, Encyclopedia of Philosophy, New York: Macmillan Publishing Co.Inc & The Free Press, Vol. 3, 1982, h. 251
[7] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. VII, 1979, h. 41-42
[8] Lois Leahy, Masalah Ketuhanan Dewasa Ini, Yogayakarta: Kanisius, 1982, h. 58
[9] Erich Fromm, Psichoanalysis and Religion, London: Yale University Press, 1976, h. 11-12


[10] Lois Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme, Yogyakarta: Kanisius, 1989, h. 49
[11] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa……, h. 39
[12] David Treublood, Philosophy of Religion, terj. M. Rosidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, h. 139
[13] Nico Sjukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Jakarta: Leppenas, 1982, h. 82-85
[14] K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983, 82-105

1 komentar:

nino mengatakan...

Iya pak, sekarang kan lagi berkembang pesat, LoA(Law of Attraction),, kalo orang awam nelen mentah mentah, bisa jadi ateis pak...